Rabu, 19 Agustus 2009

Legenda Desa Gununggajah Bayat Klaten


Zaman dahulu kala ada nenek yang bernama Nek Minah, dia menginginkan anaknya Dewi Sri cepat-cepat menikah dan mempunyai anak. Dewi Sri bersumpah pada nenek Minah untuk segera menikah dengan Raden Sastra Wijaya, tetapi Raden Sastra Wijaya menolak dan meminta satu permintaan.

Jikalau Dewi Sri mau menikah dengan Raden Sastra, maka Raden meminta seperengkat mas kawin untuk diberikan kepada Raden, maka Raden Sastra akan memberika lamaran Gajah kepada Dewi Sri. Nenek Minah sangat lega saat mendengar ucapan Raden Sastra. Nek Minah bukannya senang Dewi Sri menikah dengan Raden tetapi Nek Minah Cuma balasa dendam kepada ayah Raden Sastra Wijaya karena ayah Raden pernah mengkhianati Nek Minah pada waktu muda dulu.

Nek Minah Cuma mau Dewi Sri menikah dengan Raden Sastra, setlahae mempunyai anak lalu menceraikannya agar Raden Sastra dan ayahnya merasakan balasan setimpal dari Nek Minah. Kemudian Nek Minah meminta bantuan paranormal agar menyantet ayah ayah Raden Sastra, tetapi ada syaratnya yaitu jika santet tidak mempan maka akan santet akan menimpa Nek Minah dan Dewi Sri sendiri dan Nek Minah mematuhinya. 

Saat hari pernikahan, Raden Sastra dating kerumah Dewi Sri dengan membawa Gajah besar yang dijanjikannya. Saat Dewi Sri memberikan lamaran mas kawin kepada Raden Sastra tiba-tiba santet mengarah pada Raden Sastra Wijaya, lalu Gajah itu jatuh bergelimpang menjadi Batu Besar yang sekarang di juluki dengan “Batu Gajah” yang ada di Gununggajah. Penyesalan itu terjadi setelah semua mati.


Legenda “Desa Kalikebo” Trucuk Klaten
Dahulu ada petani yang bernamaPak Welas, dia sangat kewalahan menggarap sawahnya yang tidak ada air sama sekali. Karena Welas memelihara kerbau, dia tidak bisa memberi dedaunan yang sudah kering di tanah. 

Pak Welas mempunyai anak sulung yang bernama Marni. Tiba-tiba Warni menangis karena tidak punya air untuk mencuci bajunya, dia hanya punya air satu genthong, itu saja untuk memasak sehari-hari. Setelah Welas menunggu rantang dari anaknya, lalu Marni dating dengan membawa rantang yang penuh makanan utnuk Pak Welas. Setelah Welas makan, Marni menangis dan tangisan air mata Marni bercucuran kesawah dan menjadi kali yang besar. Hati Pak Welas sangat senang dan Welas mengucapkan terimakasih pada Marni.

Kemudian Pak Welas memandikan kerbaunya di kali dan Marni juga senang karena bisa mencuci banjunya yang menumpuk. Selanjutnya warga berdatangan untuk mengambil air yang ada di kali itu. Warga ingin air itu tidak habis, namun jika warga ingin air tetap ada maka ada persyaratannya yaitu minggu depan warga harus membawa kerbaunya ke kali untuk dimandikan bersama-sama. Warga sangat setuju dengan persyaratannya itu. 

Setelah hari yang ditentukan tiba, warga membawa kerbaunya untuk dimandikan ke kali tetapi tiba-tiba ada hujan dan petir. Petir mengenai kerbau-kerbau milik warga dan kerbau-kerbau tersebut berubah menjadi batu yang sekarang berada di dalam kali itu. Lalu warga memberi nama “Kalikebo”. “Kali” artinya Sungai dan “Kebo” artinya Kerbau. 


Legenda “Desa Kalijaran” Trucuk Klaten
Ada sebuah desa yang belum diberi nama pada waktu dulu. Lurah desa itu sangat kewalahan bagaimana cara memberi nama desa tersebut. Setiap ada yang mengusulkan nama, lurah Giono tidak pernah setuju. 

Didesa itu setiap warga mempunyai Jaran (Kuda). Setiap sore mereka memandikan jaran-jaran di kali (sungai). Air kali tersebut sangat bersih dan jernih, makanya warga sangat senang adanya sumber mata air tersebut. Selain untuk memandikan jara, kali itu juga untuk mencuci, mandi orang dan kakus. 

Pada suatu waktu Lurah Giono akan merayakan ulang tahu pembangunan Balai Desa. Warga diharap membawa tumpeng dan jaran untuk dibawa ke kali untuk dimandikan bersama-sama. Tiba hari yang ditentukan, warga membawa tumpeng untuk di do’akan dan sebagian sesajen dimasukan ke dalam kali dan jaran-jaran dimandikan dengan harapan kali itu tetap ada airnya. 

Namun Tuhan berkendak lain, jaran-jaran tersebut berubah menjadi batu besar yang sekarang ada di dalam kali itu. Kemudian lurah Giono mengusulkan untuk memberi nama desa “Kalijaran”. “Kali” artinya Sungai dan “Jaran” artinya Kuda. Namun sebaliknya, sekarang kuda-kuda di desa tersebut sudah punah dan sungainya sekarang tidak kotor dan tidak jernih lagi seperti dulu. 

Legenda “Desa Krikilan” Bayat Klaten
Seorang petani yang bernama Pak Joko dan mempunyai istri yang bernama Nek Sutilah. Mereka sudah menikah 20 tahun tetapi belum diberi keturunan satupun. Lalu Nek Sutilah mengusulkan untuk meminta anak pada Parbu Bratawena yang tinggal di dalam goa yang ada patung ular besar di tengah hutan rimba. Tetapi Pak Joko tidak setuju karena Parabu Bratawena pasti meminta tumbal atau ganti sebuah keris pusaka yang dipunyai Pak Joko. Namun dibenak Pak Joko membayangkan bahwa kalau diberi anak pasti hidup menjadi bahagia dan Pak Joko rela memberikan keris jika diminta Prabu Bratawena. 

Selanjutnya Pak Joko dan Nek Sutilah pergi ketengah hutan rimba dengan berbekal sagu yang mereka punyai. Setelah berjalan beberapa meter, Pak Joko dan Istrinya capek dan mereka memutuskan untuk istirahat sambil makan sagu bekalnya. Namun lalam kelamaan sagu habis padahal Pak Joko dan istrinya masih lapar, lalu datanglah seekor burung Gagak yang membawa buah-buahan. Nek Sutilah meminta buah-buahan yang dibawa burung Gagak tersebut karena Nek Sutilah masih lapar. Burung Gagak memberi buah-buahan tersebut kepada Pak Joko dan istrinya. Pak Joko dan istrinya harus memilih karena ada buah yang beracun, kemudian memakannya berdua.

Setelah berjalan ratusan meter, pak Joko dan istri menemukan goa yang ada patung ular besar. Pak joko dan istri merasa takut karena goa tersebut sangat besar dan gelap. Sesampai didalam, pak Joko dan istri bertemu Parbu Bratawena yang wajahnya sangat seram sekali. Lalu Prabu bertanya pada Pak Joko dan pak Joko menyampaiakan niatnya untuk meminta anaknya Prabu Bratawena. Setelah dikasih anak, keris pak Joko diminta oleh Prabu Bratawena.

Pak Joko dan istri diberi anak wanita cantik jelita, lalu anak tersebut dibawa pulang pak Joko dan istri, tetapi sesampai dirumah ada kejadian buruk yaitu anak yang dibawa pulang pak Joko berubah menjadi batu kerikil. Selanjutnya nek Sutilah menangis dengan bercucuran air mata. Air mata Nek Sutilah menetes menimpa kerikil tersebut dan kerikil itu berubah menjadi banyak.

Karena desa tersebut belum punya nama, maka warga desa itu memberi nama desa “Krikilan” (Kerikil artinya batu-batu kecil). Karena kerikilnya sangat banyak, warga memanfaatkan kerikil tersebut untuk membangun rumah dan warga sangat senang dengan nama “Desa Krikilan”.


Legenda “Desa Banyuripan” Bayat Klaten
Zaman dahulu ada wanita yang bernama Dastramena, dia dihamili oleh raja Kudungga yang sangat kaya raya. Sang raja tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan Dastramena. Setelah umur kehamilan 9 bulan, Detramena memanggil dukun bayi yang bernama Mbok Rondo. Setelah melahirkan anak kembar, Destramena meninggal dan kedua anaknya dirawat oleh Mbok Rondo. Pada waktu akan menyusui kedua anak tersebut, Mbok Rondo tidak mempunyai air karena musim kemarau yang sangat panjang. 

Kemudian kedua anak kembar tersebut pergi ke hutan dan Mbok Rondo mencarinya. Kedua anak tersebut menunjukan jari telunjuknya kearah mata air yang sangat jernih di tengah hutan rimba. Lalu Mbok Rondo membawa air kerumahnya untuk memasak dan Mbok Rondo memberitahu kesemua tetangganya. Setelah dipikir-pikir ternyata Mbok Rondo belum memberi nama kedua anak tersebut. Akhirnya kedua anak tersebut diberi nama “Banyu” dan “Ripan”. Banyu artinya Air dan Ripan artinya Penghidupan dan bila digabungkan menjadi “Air Penghidupan”. Setelah Banyu dan Ripan dewasa Mbok Rondo wafat, lalu Banyu Ripan pergi kesuatu tempat untuk mencari pekerjaan. Dalam mencari pekerjaan, Banyu dan Ripan bertemu juragan yang memberi pekerjaan membuat gerabah.

Juragan kaya tersebut merasa bahagia dengan adanya Banyu dan Ripan tetapi kebahagian tersebut belum lengkap karena desa tersebut belum mempunyai nama. Selanjutnya Banyu dan Ripan mengusulkan untuk memberi nama desa tersebut dengan nama “Banyuripan”. Akhirnya semua warga setuju dengan nama tersebut karena nama tersebut sesuai dengan ditemukannya sumber air yang bersih, jernih dan alami sebagai sumber penghidupan. Dengan sumber air tersebut semua warga menjadi makmur, sejahtera dan bahagia.

Karya Tiwi Handayani (Mano)
Kelas 9 D
SMPN 3 Bayat



1 komentar:

Komentarlah sebagai tanda persahabatan.

 

Recent Post